Ketika
kita naik mobil angkutan umum di tengah kemacetan lalu lintas, maka kita
dituntut untuk bersabar. Kita tak boleh mencaci si sopir, apalagi
membentak-bentak. Ketika kita berdesak-desakkan di kereta api kita juga
dituntut sabar. Pada saat itu kita tidak boleh marah, kendati mungkin kaki kita
terinjak.
Demikian
pula di saat negeri ini dibanjiri air yang melimpah kita pun harus sabar.
Karena sumpah serapah yang kita arahkan kepada penguasa pun tak akan mengurangi
volume banjir yang merendam hampir 30% wilayah Indonesia. Nah, dari air itulah
kita tahu bahwa kehidupan dan kematian itu berasal dari air. Jadi sabar memang
tak ada batasnya, sebagaimana iman itu sendiri.
Pantaslah
jika dalam sebuah kesempatan Nabi Muhammad SAW berpesan kepada kita untuk selalu
bersabar (tabah dan ikhlas menerima kenyataan/taqdir). Bahkan beliau
mengatakan,”Sebagian dari iman adalah sabar”. Rasulullah yang mulia sendiri,
setiap ditimpa musibah apa saja, tak pernah mengeluh apalagi sampai
menyalah-nyalahkan orang lain. Entah itu pemerintah, tetangga, atau orang lain.
Anehnya, kita tak pernah menyalahkan diri kita. Padahal, jangan-jangan
kesalahan negeri ini juga karena kesalahan kita yang tanpa sadar kita turut
menyumbangnya.
Kenapa
kita diperintah untuk bersabar oleh Allah? Inilah terapi psikologis canggih
yang diberikan Allah kepada kita. Melalui sikap inilah kita disadarkan bahwa
manusia itu tak mampu mengelola hidupnya secara pasti. Dialah Allah yang
mengurus segala urusan kita. Itulah makna kita membaca Alhamdulillahi Rabbil
‘alamien. Artinya, bahwa yang mengatur segala urusan kita itu adalah Dia.
Dengan demikian, bersama sabar kita menghadapi gejolak hidup itu dengan tenang,
rileks.
Untuk
menjadi seorang penyabar tidak mudah, memang. Tapi Allah melalui ayat-ayat-Nya,
baik yang kauni maupun qauli mengajak kita untuk menjadi ash-shabirin (kelompok
orang-orang yang sabar). Lihatlah betapa sabarnya seekor unta yang berjalan di
padang pasir sembari membawa beban berat di punuknya. Simak juga kesabaran
kerbau atau sapi ketika dengan tekunnya membajak lahan-lahan persawahan.
Padahal kalau Allah mau, binatang-binatang itu menolak diperlakukan seperti itu
oleh tuan-tuannya.
Kita
ingat kisah tentang robohnya kuda Suraqah bin Naufal saat mengejar-ngejar Nabi
untuk dibunuh. Kita ingat tenggelamnya Fir’aun bersama serdadunya di laut Merah
ketika mengejar-ngejar Nabi Musa dan pengikutnya. Dan kita juga ingat
selamatnya nabi Yunus dari telanan ikan hiu. Kalau saja Allah mau, tentu Nabi
Muhammad SAW sudah dibunuh Suraqah, Musa sudah dipenggal oleh algojo-algojo
Fir’aun dan Yunus tidak dikeluarkan lagi dari perut ikan buas itu.
Maka
sangat wajar bila Allah mengabadikan mereka dalam al-Qur’an sebagai
al-shabirien dan al-shadiqien, yakni orang-orang yang membenarkan
ayat-ayat-Nya. Kuncinya apa? Mereka sabar dalam menjalani hidup ini, tanpa
berharap materi di dunia.
Para
kekasih Allah itu meneladani sifat Rabb mereka, Al-Shabur, salah satu al-Asma
al-Husna yang Allah miliki. Saudara-saudaraku yang dirundung derita, dan mereka
yang sedang ditimpa nestapa………..
Bersabarlah,
karena Allah bersama orang-orang yang sabar
sumber : eramuslim
0 komentar:
Posting Komentar